Aira Zahra Vializa, itu adalah nama seorang anak bungsu dari sebuah keluarga yang ekonominya terbilang lebih dari cukup. Banyak orang bilang bahwa dia merupakan anak yang beruntung. Sejak kecil, dia telah dimanja oleh kedua orang tuanya yang merupakan pengusaha sukses. Terlebih kakak laki-lakinya yang selalu melindunginya dari segala macam urusan yang akan membuatnya resah. Bisa dibilang, dia tumbuh dengan kasih sayang yang berlebih, sehingga membuatnya selalu bergantung pada orang lain. Meski demikian, dia bukanlah anak yang sombong ataupun congkak seperti halnya anak orang kaya lainnya yang selalu memandang orang lain dengan sebelah mata. Dia selalu bersikap sopan dan merendah pada orang lain. Dan sifat periangnya selalu membuat orang yang berada disekitarnya merasa senang.
“Aira….bangun, sayang,”terdengar suara lembut mama sembari membuka korden jendela kamar yang bercatkan warna biru muda itu.
“Ah, bentar lagi. Masih ngantuk,”jawab Aira dengan mata masih tertutup dan kemudian kembali menarik selimutnya ke atas kepala.
“Kok gitu, sih. Udah jam setengah enam, nih. Kamu belum salat subuh, kan?”bujuk mama lembut seraya duduk disampingnya.
“Lima menit lagi,”rayu Aira yang telah membuka kedua matanya, meski masih terlihat sipit.
“Nggak bisa gitu donk. Masa salat ditunda. Liat tuh, mataharinya udah nongol,”mama menarik selimut yang tengah menyelubungi tubuh Aira yang masih merasa dingin dan kemudian melipatnya.
Akhirnya, bujukkan mama berhasil membuat Aira terbangun, meski Aira sempat memperlihatkan bibirnya yang manyun kepada mama. Dia beranjak dari tempat tidur dan melangkah pelan menuju kamar mandi yang masih berada di kamarnya.
Pukul 07.39, Aira telah siap dengan seragam SMA-nya. Semua anggota keluarga pun telah menunggu dirinya di meja makan. Sebagai anak kelas X SMA, dia masih terbilang anak manja.
“Sarapan dulu, Ra!”ajak papa.
“Ah, nggak usah sarapan, ya. Udah siang, nih. Nanti Aira telat,”rengek Aira yang kembali memperlihatkan bibirnya yang manyun.
“Sarapan dulu. Kalau nggak, kak Ferdi nggak mau anterin kamu!”jelas kak Ferdi yang merupakan kakak Aira yang sekarang ini satu sekolah dengannya dan duduk dibangku kelas XII IA 2.
Akhirnya, Aira menuruti kata-kata papa dan kak Ferdi yang memang sebenarnya untuk kebaikan dirinya sendiri. Aira makan dengan tergesa-gesa, dia benar-benar takut datang terlambat karna jika terlambat dia harus berhadapan dengan guru BK.
Pukul 07.05, akhirnya dengan menggunakan sebuah motor tunder berwarna biru tua, Aira dan kak Ferdi sampai di depan gerbang sekolah SMA N 1 Harapan Bangsa. Namun, yang mereka lihat bukanlah lagi segerombolan anak yang hendak memasuki sekolah, tetapi sebuah pintu gerbang tinggi yang telah menutupi jalan masuk ke dalam sekolah itu. Di samping pintu gerbang pun telah terlihat pos satpam berserta seorang satpam di dalamnya yang tengah berjaga menanti siapapun yang datang terlambat, baik itu siswa, maupun guru. Itu memang telah menjadi salah satu peraturan mendasar dalam sekolah itu. ‘SIAPA TERLAMBAT, HADAP GURU BK!!’mungkin begitu bunyi peraturannya.
“Ra, kamu turun dulu dari motor, ya,”ucap kak Ferdi yang mulai terlihat berkeringat. Tapi keringatnya itu bukanlah karena dia takut harus menghadapi guru BK, melainkan dia benar-benar tak tega melihat mimik wajah adiknya yang terlihat begitu ketakutan.
Dengan perasaan pasrah, Aira menuruti kata-kata kakaknya. Dan kemudian, berdiri disampingnya.
“Dengerin, ya. Nanti waktu kak Ferdi ngalihin perhatiannya pak satpam, kamu langsung masuk ke dalam sekolah, ya…”terang kak Ferdi sembari memegang pundak adiknya.
Aira pun hanya mampu mengangguk dan berkata,“Lalu kak Ferdi sendiri gimana??”
“Kalau kak Ferdi sih, nggak masalah. Yang penting kamu berhasil masuk. Dan usahakan kamu masuk kelas sebelum guru kamu masuk ke kelas duluan. Ngerti??”
“Tapi kak…”
“Udah, kamu ikuti aja permainan kak Ferdi,”ucap kak Ferdi yang memutus perkataan Aira dan kemudian pergi menghampiri pak satpam yang berkumis tebal itu dengan motornya.
Setelah kak Ferdi menghadap pak satpam dan berhasil mengalihkan perhatiannya, kak Ferdi memberikan kode pada Aira untuk masuk ke dalam sekolah. Dengan langkah pelan, Aira melewati pos satpam yang berada berseberangan dengan dirinya. Setelah merasa jauh dari pos satpam, Aira berlari sekuat tenaga menuju ruang kelasnya yang memang sudah tak jauh lagi dari tempatnya sekarang berpijak.
“Mengerti…!!!”terdengar suara serempak anak-anak kelas X-B, kelas dimana selama 7 bulan ini menjadi tempat Aira menuntut ilmu.
“Duh, gimana nih?? Masa udah ada gurunya. Terus aku mesti gimana??”rengek Aira yang mulai kebingungan berdiri sendiri di depan pintu kelasnya.
Tiba-tiba dari arah berlawanan terlihat bapak Kepala Sekolah yang sedang berjalan ke arahnya.
“Aduh!! Ada bapak Kepala Sekolah lagi. Kalau ketahuan bisa lebih parah, nih!”ucap Aira yang kemudian spontan masuk ke dalam kelasnya.
“Huuuuu….!!!”teriakan serempak kembali terdengar dari anak-anak kelas X-B yang melihat salah seorang temannya datang terlambat.
Karena perasaan malu dan takut yang bercampuraduk dalam hatinya, Aira hanya mampu menundukkan kepalanya. Dia tak sekalipun berani memandang wajah teman-temannya, apalagi guru yang berada hanya sekitar 1,5 meter dari tempatnya berdiri.
“Kamu telat, ya??”terdengar suara mengalun dari arah 1,5 meter dari tempat berdirinya itu. Namun, itu bukanlah suara ibu Reva yang seharusnya pagi ini mengajar kelas Aira. Melainkan, lebih seperti suara cowo.
Meski Aira masih sedikit merasa takut, namun Aira memberanikan dirinya menatap wajah orang yang kini hanya berjarak 1 meter dengannya.
Sejenak Aira terdiam melihat cowo yang ada didepannya itu. Tiba-tiba saja perasaan Aira menjadi tak menentu dan membuatnya sedikit salah tingkah.
“Kenapa?”tanyanya yang merasa heran melihat Aira yang terus memandangnya sambil terdiam.
“Oh, e…Loh, bu Guru mana??”spontan pertanyaan itu keluar dari mulut Aira ketika tersadar memang bukan bu Reva yang sedari tadi mengisi kelas Aira.
“Oh, iya. Kebetulan bu Reva sedang ada seminar di luar kota. Dan saya diberikan kepercayaan dan wewenang untuk memberikan tugas serta menjaga kelas kalian selama satu jam pelajaraan bu Reva hari ini,”terang cowo berpostur tubuh tinggi besar yang memang dibilang menjadi anak kesayangan bu Reva karena prestasinya di mata pelajaran Matematika.
“Oh, gitu yach,”ucap Aira singkat.
“Ya udah sana kamu duduk,”perintah cowo itu santai.
“Loh, saya nggak dihukum, kak?”tanya Aira yang merasa aneh.
“Oh, kamu mau dihukum,”goda cowo itu pada Aira.
“Ahh, nggak ,nggak, nggak, nggak.,”jawab Aira cepat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya udah sana duduk.”
Setelah Aira duduk di kursinya, dia langsung mengeluarkan buku Matematika-nya dan menyusul teman-temannya yang telah terlebih dahulu mengerjakan soal Matematika yang ditulis di papan tulis oleh sekretaris kelas X-B. Sambil mengerjakan tugas matematikanya, Aira berusaha mencuri pandang pada kakak kelas itu yang sebenarnya tak pernah dia lihat sebelumnya.
“Tet..tet..tet..”bel tanda usai jam pelajaran pertama telah berdentang. Jam pelajaran bu Reva pun telah usai, itu artinya cowo yang menjadi pusat perhatian Aira itu harus meninggalkan kelas Aira.
“Ly, loe tahu nggak siapa kakak kelas yang barusan ngisi kelas kita?”tanya Aira pada Elly yang merupakan teman sebangkunya.
“Oh, itu. Dia itu anak kelas XII IA 2. Namanya kak Endra. Dia emang baik banget. Jadi nggak aneh kalau dia sama sekali nggak ngehukum loe, karna loe datang telat…”jelas Elly panjang lebar sembari memasukkan buku pelajaran matematika-nya dan kembali mengambil sebuah buku tulis bersampul warna hijau muda yang tak lain buku tulis pelajaran B. Indonesia
“Tunggu, tunggu, tunggu. Loe tadi bilang kalau dia itu anak kelas XII IA 2? Kalau iya, berarti sekelas donk sama kak Ferdi?”tanya Aira girang.
“Iya, ya…Kak Ferdi kan kelas XII IA 2,”jawab Elly yang tak kalah girangnya.
“Wah, kalau gini gue bisa…”
“Ra, gue boleh nggak curhat sama loe?”tiba-tiba saja Elly memotong kata-kata Aira.
“Curhat? Tentang apa?”
“Tentang kak Endra.”
Saat mendengar jawaban Elly, jantung Aira mendadak berdebar kencang. Hatinya dikelabuti rasa penasaran.
“Apa?”
“Mmm, sebenernya gue…gue..gue suka sama kak Endra,”terang Elly dengan tersenyum malu dan wajahnya pun menjadi memerah.
Mendengar semua itu, hati Aira pun terasa hancur. Karena dia harus mendengar ungkapan rasa hati sahabatnya pada seorang cowo yang sebenarnya juga dia sukai. Dalam hati, Aira terus-menerus bertanya tentang apa yang harus dia berbuat.
“Ra, loe nggak apa-apa, kan?”tanya Elly yang merasa bingung melihat sahabatnya yang terus terdiam seraya memandang wajah Aira dengan teliti.
“Oh, nggak apa-apa, kok. Gue nggak kenapa-napa. Nggak salah kok, kalau loe suka sama dia. Secara kak Endra itu cakep dan pinter,”jelas Aira cepat-cepat sebelum Elly merasa curiga.
“Iya, donk. Jadi loe dukung gue, kan?”
“Kenapa nggak?”ucap Aira sambil mengangkat bahunya.
Waktu terasa berjalan begitu cepat, pagi yang sejuk dan sunyi kini telah tergantikan oleh sinar matahari yang panas hingga membuat anak-anak kelas X-B merasa gerah, dan akhirnya kegaduhan pun tak dapat dihindari lagi.
“Tet..tet..tet..tet..”bel tanda waktu pulang sekolah tiba telah berdentang. Seluruh siswa bersorak gembira terutama siswa kelas X-B yang telah mengantuk setelah usai 2 jam pelajaran sejarah yang bak dongeng sebelum tidur itu.
Aira bergegas menuju kelas kak Ferdi. Dia lupa belum menemui kak Ferdi setelah kejadian tadi pagi dengan pak satpam yang berkumis tebal itu. Aira menunggu disamping pintu masuk kelas XII IA 2. Saat satu per satu siswa kelas itu keluar, Aira terus mencari keberadaan kakaknya itu. Namun tak disangka-sangka, dia justru melihat kak Endra melintas didepannya. Aira lupa jika kak Endra juga anak kelas XII IA 2. Dan tak disangka-sangka lagi, kak Endra melempar senyuman yang sangat manis kepadanya dan menghampirinya. Rupanya dia masih mengingat Aira.
“Loh, kamu anak X-B yang telat tadi, kan?”ucapnya lembut yang membuat tubuh Aira lemas.
“Oh, e…e..Iya, kak,”jawab Aira gugup.
“Terus sekarang kamu lagi nungguin siapa?”
“Oh, itu. Saya lagi nungguin…”
“Endra…”salah seorang temannya memotong pembicaraan mereka.
“Jadi ngerjain tugas Fisika, nggak?”lanjutnya.
“Oh, ya. Jadi,”jawabnya pada temannya.
“Aku pulang dulu , ya,”ucapnya pada Aira seraya melemparkan senyuman kembali.
“Oh, iya,”jawab Aira seraya membalas senyum dengan senyuman yang lebih manis lagi.
Tak lama setelah kepergian kak Endra, kak Ferdi muncul dihadapan Aira. Dan mereka pun langsung menuju ke parkiran. Sepanjang perjalanan pulang, Aira tak henti-hentinya menanyakan keadaan kakaknya setelah kejadian tadi pagi dengan pak satpam yang bekumis tebal itu.
Keesokkan harinya…
Pagi itu terasa begitu cerah, secerah suasana hati Aira yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta. Udara pagi yang dingin membuat orang enggan untuk turun dari tempat tidur. Namun, berbeda dengan Aira, pagi ini dia terlihat begitu bersemangat. Pukul 05.00, Aira telah bangun tanpa suara lembut dari mama seperti hari-hari biasanya. Aira melompat dari tempat tidur dan berjalan cepat ke arah kamar mandi. Setelah selesai merapikan dirinya, Aira menuju ruang makan.
“Pagi semua,”sapa Aira seraya duduk di kursi meja makan.
Semua orang yang berada di meja makan terdiam. Mereka merasa aneh akan perubahan Aira.
“Kamu nggak kenapa-kenapa kan, sayang,”tanya mama sedikit cemas.
“Aira nggak kenapa-kenapa, kok. Hmm, makanannya kayaknya enak, nih. Aira makan duluan, yach.”
Tak seperti biasanya, pukul 06.05, Aira telah bersiap untuk berangkat sekolah.
Udara pagi yang segar membuat wajah Aira semakin bersinar. Senyum di bibirnya semakin mengembang ketika Aira telah sampai di SMA N 1 Harapan Bangsa.
“Pagi Elly-ku, sayang,”sapa Aira saat hendak duduk di kursinya.
“Ih, apaan sih!! Sayang, sayang…Lebai tahu,”ucap Elly bercanda.
Aira pun hanya tersenyum tipis.
“Eh, Ra. Loe tahu nggak, tadi waktu gue berangkat sekolah, gue ketemu siapa?”tanya Elly sembari membenarkan posisi duduknya menghadap Aira.
“Siapa?”tanya Aira yang ikut-ikutan membenarkan posisi duduknya, sehingga mereka berdua berhadap-hadapan.
“Kak Endra…”seru Elly karna memang pagi itu kelas X-B masih tampak sepi.
Mendengar semua itu, hati Aira terasa tercabik-cabik. Dia menghela nafas sembari berteriak dalam hatinya, ‘Astaghfirullah, apa yang udah gue perbuat!! Kak Endra kan gebetan-nya Elly, sahabat gue sendiri. Tapi dari kemarin gue justru mikirin dia terus. Apa gue bener-bener suka sama kak Endra, yach?’
“Kenapa, Ra? Kok kelihatan kaya mikir gitu?”tanya Elly sembari melihat jidat Aira yang mulai berkerut karena terlalu banyak berpikir.
“Oh, gue nggak apa-apa, kok. Mikir? Ya, gue cuma lagi mikir, gimana kalau gue nyomblangin loe sama kak Endra lewat kak Ferdi,” ucap Aira spontan.
“Beneran, Ra? Gue mau, mau banget. Aduh loe tuh emang best friend, deh,”jerit Elly seraya memeluk Aira erat-erat.
‘Duh, Aira, Aira, loe tuh ngomong apa, sih? Loe dah kaya gini kan jadi loe sendiri yang pusing,’batin Aira seraya menutupi isi hatinya dengan tersenyum pada Elly.
Saat istirahat pertama, Elly meminta Aira pergi bersamanya ke kelas kak Ferdi untuk bertanya-tanya mengenai kak Endra dan curi-curi pandang pada kak Endra.
“Fer, nih ada adik loe,”teriak salah seorang teman kak Ferdi yang memang diminta Aira untuk memanggil kakaknya.
“Ada apa, Ra? Tumben ke kelas kak Ferdi waktu istirahat. Sini duduk,”ucap kak Ferdi seraya duduk di bangku yang berada di depan kelasnya.
“Gini kak, sebenarnya Elly pengen tanya-tanya banyak tentang kak En…”belum selesai Aira bicara, Elly telah mencubit pinggang Aira.
“Au…sakit, Ly!!”
“Kak En?? Kak Endra??”tebak kak Ferdi.
“Eh, Endra. Sini,”tiba-tiba saja kak Ferdi memanggil kak Endra yang saat itu hendak keluar kelas.
“Duh, mati gue. Gimana nih, Ly?”ucap Aira pelan.
“Ada apa, Fer?”tanya kak Endra yang kini telah dihadapan mereka bertiga.
“Nih, En. Temen adik gue mau tanya sama loe.”
Saat kak Endra menghadap Aira dan Elly, spontan Aira menunjukkan tangan ke arah Elly sembari tersenyum. Elly pun spontan menampis tangan Aira.
“Aira, please. Loe aja, yach,”bisik Elly.
“Eh, e…sebenernya gini kak, Elly temen saya mau tanya soal matematika yang nomor 12. Soalnya susah banget sih, kak,”cepat-cepat Aira mengarang pertanyaan.
“Oh, gitu. Eh, tapi bukannya kemarin tuh soalnya cuma sampai 10, yach?”
“Aira, loe bego banget, sih,”ucap Aira lirih.
“Apa, De?”
“Oh, iya. Maksud saya itu nomor 2. Ya, nomor 2 itu susah banget. Kok jadi ngomong nomor 12, yach?”terang Aira dengan nafas yang terlihat tersenggal-senggal seraya tertawa-tawa tak jelas.
Saat di kelas X-B….
“Loe gimana sih, Ra? Malah jadi nggak karuan kaya gini,”rengek Elly.
“Ya, maaf. Kak Ferdi tuh yang aneh, gue kan mau tanya-tanya tentang kak Endra, bukannya mau dipanggilin kak Endra-nya terus tanya-tanya sendiri,”jelas Aira sembari memanyunkan bibirnya kembali.
“Ya, ya. Kan kita jadi malu.”
“Siang anak-anak…”sapaan pak Guru siang itu telah mengakhiri pembicaraan Aira dan Elly.
Pukul 15.30, Aira telah rapi dengan pakaiannya setelah mandi sore. Kini Aira tengah membantu mamanya merapikan tanaman-tanaman yang berada di kebun belakang rumah Aira. Kicau burung yang merdu, udara sore yang sejuk membuat mereka berdua asyik bermain dengan tanaman-tanaman mereka.
Tiba-tiba saja, kak Ferdi masuk ke kebun belakang.
“Loh, Ferdi. Kok kamu kesini. Temen kamu udah pulang?”tanya mama.
“Temen? Emang ada temennya kak Ferdi?”tanya Aira yang memotong kak Ferdi yang sudah siap menjawab pertanyaan mama.
“Endra belum pulang kok, ma. Sini, En. Katanya loe pengin liat bunga mawar punya nyokap gue?”
“Hah, kak Endra??”ucap Aira lirih.
“Sore, tante,”sapa kak Endra ramah seraya masuh ke kebun.
“Mau liat bunga mawar tante, yach?”goda mama.
“Iya tuh, ma. Katanya Endra pengin ngebandingin, bagusan bunga mawar punya mama atau punya mama-nya Endra. Jadi habis ngerjain tugas, Ferdi bawa aja Endra ke kebun,”terang kak Ferdi.
“Tuh, bunga mawar tante. Jadi bagusan yang mana?”tanya mama.
“Hmm, kayaknya bagus punya tante, deh,”jawab kak Endra seraya memandang Aira sembari tersenyum.
Melihat itu jantung Aira menjadi berdetak semakin cepat. Wajahnya pun kini memerah.
“Ah, kamu bisa aja. Ya, tante tinggal dulu ya ke dalam,”ucap mama seraya pergi meninggalkan mereka bertiga.
Sejenak mereka bertiga terdiam. Namun, kemudian kak Ferdi mencairkan suasana. Dengan mengajak mereka bermain gelembung udara yang terbuat dari sabun yang kebetulan tergeletak di kebun. Akhirnya mereka bertiga bermain bersama. Tak terasa kini Aira begitu akrab dengan kak Endra. Setiap Aira memandang kak Endra pasti kak Endra telah memandangnya terlebih dahulu. Sepertinya kak Endra pun telah menaruh perasaan pada Aira. Hari itu berlangsung sangat cepat dan akhirnya waktu juga yang memisahkan mereka. Namun, hari itu sangat berarti untuk Aira.
Keesokkan harinya saat Aira dan Elly hendak berjalan menuju kantin, mereka berdua berpapasan dengan kak Endra. Spontan Aira dan kak Endra menebar senyuman. Itu semua membuat Elly merasa cemburu.
“Loh, kok kak Endra bisa senyum sama loe, sih?”tanyanya sambil terus berjalan.
“Oh, e..Iya. Soalnya kemarin kak Endra itu ke rumah gue. Dia ada urusan sama kak Ferdi. Dan disitu gue jadi akrab sama dia. Emm, apa loe mau ke rumah gue nanti? Soalnya katanya kak Endra mau ke rumah gue lagi nanti sore,”terang Aira sebelum Elly benar-benar cemburu.
Sebenarnya Aira juga merasa bersalah pada Elly. Tapi apa mau dikata, Aira sendiri juga tak dapat membohongi perasaannya.
“Oh, ya?? Kalau gitu nanti gue pulang sekolah langsung ke rumah loe, ya??”ucap Elly girang.
“Ya, tapi loe telpon orang tua loe dulu, ya.”
“Beres!!”
Di kamar Aira….
“Ly, loe tunggu sini bentar ya. Gue mau ganti baju dulu,”ucap Aira seraya masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara itu Elly sibuk melihat-lihat se-isi kamar yang cukup luas itu. Sampai akhirnya, matanya tertuju pada sebuah buku yang tergeletak di atas meja belajar Aira. Karna penasaran, Elly pun membukanya.
“Wah, ternyata buku diary Aira.”
Perlahan Elly membuka lembar demi lembar dari buku itu dan dia hanya memperlihatkan ekspresi senyum. Namun ketika dia sampai di halaman terakhir, raut wajahnya berubah menjadi merah padam. Elly terus membacanya dengan teliti. Tiba-tiba saja ,air matanya menetes sampai ke pipi-nya. Ternyata lembar kertas itu mengungkapkan perasaan Aira pada kak Endra. Tangannya pun meraih airmata itu dan kemudian menghapusnya, lalu dia lari keluar dari kamar Aira.
“Elly…”Aira yang baru saja keluar dari kamar mandi, langsung memanggil Elly yang hendak keluar.
Elly sempat berhenti sembari memandang Aira dengan mata-nya yang merah dan kemudian kembali berlari keluar. Aira yang tak tahu apa-apa hanya mampu terdiam. Sampai akhirnya dia melihat buku diary-nya tergeletak di meja belajar-nya dengan posisi membuka pada halaman terakhir. Setelah Aira mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dia langsung mengejar Elly.
Di ruang tamu ternyata kak Endra telah datang dan Elly melewatkannya begitu saja. Aira gagal mengejar Elly dan akhirnya dia hanya mampu menangisi yang telah terjadi, sehingga membuat kak Ferdi panik melihat adiknya yang menangis.
Keesokkan hari di kelas X-B….
Saat Aira datang, respon Elly sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Itu semua membuat Aira tertekan. Berkali-kali Aira mencoba minta maaf, tapi Elly tak pernah memberi kesempatan Aira untuk memberikan penjelasan. Selama 3 hari Elly tak mau bicara dengan Aira. Sampai di hari keempat…
Saat bel pulang sekolah berbunyi, semua anak berhamburan ke luar kelas.
“Elly…”Aira akhirnya memberanikan dirinya untuk memanggil nama Elly dengan keras saat Elly hendak keluar dengan situasi kelas yang telah sepi.
“Asal loe tahu aja, ya. Disini nggak cuma loe yang tersiksa, tapi gue juga. Loe juga harus tahu kalau sebenernya dari pertama loe ngomong suka sama kak Endra, disaat itu gue juga udah suka sama dia. Tapi gue nggak tega buat ngomong sama loe. Gue udah coba buat lupain dia, tapi gue nggak bisa. Buat gue, dia cinta pertama gue. Tapi loe adalah sahabat terbaik gue, jadi gue nggak mau persahabatan kita hancur cuma gara-gara cowo. Okey, sekarang semua keputusan ada di tangan loe. Terserah loe mau maafin gue atau nggak??”jelas Aira dengan penuh air mata hingga membuatnya sulit bernafas.
Aira pun keluar dari kelas meninggalkan Elly sendiri.
Hari berikutnya, Elly menunggu Aira di depan gerbang sekolah. Setelah menunggu beberapa waktu, dia melihat kak Ferdi datang. Namun, Elly tidak melihat Aira membonceng kak Ferdi seperti biasanya.
“Kak Ferdi..”sapa Elly saat kak Ferdi memarkir motornya.
“Kamu, Ly. Ada apa?”
“Aira mana??”
“Oh, ya. Nih, sekalian titip surat buat wali kelas kamu. Soalnya Aira nggak berangkat sekolah hari ini,”jelas kak Ferdi sembari menyodorkan sepucuk surat pada Elly.
“Sakit??”
“Iya, tuh. Badannya panas, terus tadi malem menggigil.”
“Sakit kenapa?”
“Kak Ferdi juga nggak tahu. Cuma beberapa hari ini, kak Ferdi emang sering liat Aira nangis. Tapi kalau ditanya, dia cuma meluk kak Ferdi terus nagisnya tambah kenceng,”terang kak Ferdi seraya meningalkan Elly.
Seharian di sekolah, Elly hanya melamun memikirkan Aira. Dia merasa sangat bersalah.
“Mungkin gue udah terlalu kasar ke Aira. Semestinya gue kan nggak kaya gitu. Bagaimanapun juga kita kan sahabatan. Apalagi Aira itu kan anak yang manja, jadi kalau mikir terlalu berat langsung sakit, deh,”ucap Elly pelan.
Setelah bel tanda pulang berbunyi, Elly berniat untuk menjenguk Aira.
“Eh, Elly. Sini masuk. Mau jenguk Aira, ya??”tanya mama seraya mengantar Elly ke kamar Aira.
“Iya, tante. Tapi maaf, Elly nggak bisa bawa apa-apa. Soalnya tadi langsung habis pulang sekolah,”ucap Elly yang memang dewasa dalam hal tata krama seperti itu.
“Kamu itu ngomong apa, sih. Kamu datang aja. Tante udah senang, kok.”
“Aira, ini ada Elly mau jenguk kamu,”lanjut mama.
“Iya, ma. Suruh masuk aja,’ucap Aira dari dalam kamar dengan suara yang lemas.
“Elly, tante titip Aira dulu,ya. Soalnya dari tadi tante di kamar Aira terus jadi belum masak, deh,”ucap mama seraya pergi meninggalkan mereka berdua.
“Iya, tante.”
Perlahan Elly mendekati Aira yang terbaring lemas di tempat tidur.
“Gimana keadaan loe?”Elly membuka pembicaraan.
“Makasih ya, El. Gue pikir loe udah nggak peduli lagi sama gue,”ucap Aira seraya mencoba duduk.
“Eh, jangan duduk dulu, tiduran aja lagi.”
“Gue minta maaf, ya. Semestinya gue nggak hianatin kepercayaan loe. Gue yang salah, maaf. Maafin gue, ya,”mohon Aira pada Elly seraya menuruti perkataan Elly untuk kembali berbaring.
”Gue yang minta maaf sama loe. Nggak sepantasnyakan kalau kita marahan cuma karna cowo yang baru kita kenal beberapa hari. Padahal gue sama loe udah temenan dari SMP,”lanjut Elly.
“Elly, gue sayang banget sama loe,”Aira tiba-tiba saja meneteskan air matanya.
“Gue juga sayang banget sama loe. Udah donk, jangan nangis lagi,”ucap Elly seraya memeluk tubuh sahabatnya yang masih lemas itu.
“Gue janji, gue akan berusaha sekuat tenaga buat lupain kak Endra,”ucap Aira.
“Jangan gitu donk, dia kan cinta pertama loe,”Elly melepas pelukannya.
“Ya, tapi loe kan sahabat gue,”Aira memandang Elly dengan senyuman.
“Jadi boleh donk, kalau gue lebih milih loe,”lanjut Aira.
“Ya, udah deh terserah loe. Loe tuh emang sahabat sejati gue. Selamanya. Janji?”ucap Elly seraya memperlihatkan jari kelingkingnya.
“Janji,”Aira pun menggandengkan jari kelingkingnya dengan jari kelinggking Elly.
Pagi hari yang indah telah kembali pada dunia Aira, senyuman pun telah kembali mengembang di bibirnya.
Saat Aira hendak menaiki anak tangga untuk menuju kelasnya, dia kembali berpapasan dengan kak Endra. Sejenak mereka berdua berhenti dan saling memandang. Namun, kemudian Aira memalingkan wajahnya dan kembali menaikki anak tangga. Kak Endra yang merasa aneh dengan sikap Aira yang dulu selalu tersenyum padanya pun hanya mampu terdiam menatap kepergian Aira.
Kini Aira telah mengerti bahwa dalam memperjuangkan sesuatu terkadang kita juga harus mengorbankan sesuatu yang berharga bagi kita.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar