Positive Word Sebagai Cara Pembentukan Mental Positif Peserta Didik




POSITIVE WORDS SEBAGAI CARA
PEMBENTUKAN MENTAL POSITIF
PESERTA DIDIK
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr.Ibnu Syamsi, M.Pd.

logo_uny.gif

Disusun oleh :
Hanifa Tsany Hasna
11404241047
hanifa_tsany@yahoo.com



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012

POSITIVE WORDS SEBAGAI CARA
PEMBENTUKAN MENTAL POSITIF
PESERTA DIDIK
Hanifa Tsany Hasna
11404241047
Pendidikan Ekonomi A
Fakultas Ekonomi
hanifa_tsany@yahoo.com


ABSTRAK
Sikap mental positif adalah sebuah keadaan jiwa yang percaya diri, bersemangat, memiliki keyakinan, selalu berpikir positif, memiliki integritas, bertanggungjawab, disiplin, menghargai orang lain, selalu berpikir ke depan, sadar bahwa tidak ada jalan yang rata untuk sukses, pantang menyerah dan membangun yang dilakukan dengan kekuatan niatnya sendiri, berdasarkan motivasi yang diadaptasinya sendiri. Dengan memiliki sikap mental positif, seseorang akan lebih tangguh dalam menghadapi setiap permasalahan hidupnya. Dalam upaya pembentukan sikap mental positif pada peserta didik, peran guru akan menjadi sangat vital, yaitu dengan penggunaan positive words dalam setiap komunikasi pembelajaran. Karena cara kerja otak diisi dengan apa yang sering kita pikirkan, lihat, baca, dengar, dan apa yang menjadi kepercayaan kita, serta sesuatu yang pernah terjadi dalam hidup. Otak akan menyimpan semua sumber daya atau kemampuan tersebut, terrlepas itu positif atau negatif, kecuali anda memilih secara sadar mana yang anda  inginkan untuk disimpan atau dibuang. Daya-daya ini (entah positif atau negatif) yang akan dikeluarkan otak ketika sedang dibutuhkan. Dengan demikian penggunaan positive words dalam pembelajaran di sekolah dapat menjadi suatu alternative pembentukan sikap mental positif pada peserta didik.
Kata kunci: sikap mental positif, positive words






PENDAHULUAN

Permasalahan Indonesia sekarang ini merujuk pada krisis mentalitas masyarakatnya. Seperti yang kita ketahui, Indonesia menduduki peringkat yang cukup tinggi dalam kasus korupsi, hal ini disebabkan karena tingkat kejujuran dan rasa tanggungjawab warga Indonesia masih cukup rendah. Krisis mentalitas juga terlihat pada generasi muda bangsa Indonesia, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi pegawai negeri, hal ini disebabkan karena sikap pantang menyerah, rasa kepercayaan diri dan keberanian untuk mengambil resiko anak bangsa Indonesia dalam menciptakan suatu lapangan pekerjaan sendiri masih rendah. Dan krisis mentalitas lainnya yang juga terlihat pada sebagian besar warga Indonesia adalah adanya mental selalu ingin diberi.
Pembentukkan mental positif sejak dini menjadi hal yang sangat penting dalam upaya perbaikan generasi penerus bangsa, melalui pendidikan keluarga dan pendidikan di sekolah. Namun sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini hanya berorientasi pada kemampuan peserta didik dalam menguasai ilmu pengetahuan. Hal ini bisa dilihat dari penentu kelulusan siswa yang berdasar atas Ujian Nasional yang hanya menguji kemampuan akademik peserta didik. Sementara perkembangan mental peserta didik justru dirasa terabaikan. Oleh karena itu, peran pendidik (GURU) disini menjadi sangat penting dalam pembentukan mental positif. Lalu bagaimanakah cara membentuk mental positif peserta didik??
Dalam makalah ini penulis merasa perlu untuk mengkaji mengenai pengaruh besar dari positive words dalam pembentukan mental positif. Karena sebagian besar orang hanya menganggap kata-kata sebagai sebuah media komunikasi bahasa saja. Padahal kata yang keluar dari individu atau yang didengar oleh individu memiliki pengaruh yang luar biasa bagi individu tersebut, terlebih kata-kata itu begitu sering diucapkan atau didengar. Seperti labeling, individu akan terasa ter-doktrin dengan kata-kata tersebut, maka dari itu berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis terdorong untuk membuat makalah dengan judul “Possitive Words Sebagai Cara Pembentukkan Mental Positif Peserta Didik.






PEMBAHASAN

I.       Positive Words
A.    Pengertian Positive Words atau Kata-kata Positif
Menurut Urban
Urban mengungkapkan bahwa kata adalah sebuah bunyi ujaran yang melambangkan atau mengomunikasikan sebuah makna dan merupakan isyarat verbal.
Menurut DEPDIKNAS
Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa.
Kata-kata mampu membuat individu merasa sehat, pengharapan, bahagia, semangat, dan riangan. Namun kata-kata juga mampu membuat individu menderita depresi. Kata-kata terdiri dari kata positif dan negatif. Kata positif adalah kata-kata berupa dukungan, kebahagiaan, semangat, optimis dan berdampak positif bagi manusia. Sedangkan, kata negatif adalah kata-kata berupa sifat pesimis, kasar dan merupakan bentuk ekspresi dari rasa kesal, marah dan emosi negatif.
Beberapa hal yang mempengaruhi kata-kata positif, (1) nada suara, banyak psikolog sosial mengklaim bahwa 40% komunikasi verbal dibuat melalui nada suara. Tinggi rendahnya suara adalah inti dari semua yang diucapkan nada inilah yang memberikan perasaan ke dalam kata-kata individu; (2) bahasa tubuh, individu sering menggunakan tubuh untuk mengekspresikan lebih dari separuh kata yang ingin diucapkan; (3) sentuhan, sentuhan yang lembut atau pelukan yang penuh kasih, dilakukan dalam suasana yang tepat, dapat menjadi cara yang kuat untuk menguatkan kata-kata.

B.     Kedahsyatan Sebuah Kata
a.     Citra Air Berdasarkan Kata yang Dilontarkan
Prof. Emoto Masaru seorang ahli teori gelombang telah mengadakan penelitian sehubungan dengan kata-kata negatif dan positif. Ia mengatakan bahwa dalam eksperimennya ia secara bergantian melontarkan kata-kata positif seperti hebat, kamu bisa, terima kasih, serta kata-kata negatif seperti, saya tidak bisa dan menyebalkan di atas perdepanan air. Kemudian dengan suatu alat khusus ia mengamati citra yang dibentuk air sebagai akibat dari lontaran kata-kata tadi. Ternyata kata-kata negatif membentuk suatu citra yang rusak, tidak beraturan dan tidak estetis. Sebaliknya, kata-kata positif membentuk suatu citra yang teratur dan rapi, beraturan dan bernilai estetika tinggi. Bahan dasar tubuh manusia adalah air, maka pengaruh kata-kata positif dan negatif akan membentuk citra yang kira-kira sama.
Pengaruh dari kedua kata ini dibuktikan Urban dalam eksperimen kecilnya. Urban mengatakan bahwa dalam eksperimennya anak-anak yang semula riang di dalam kelas menjadi stres setelah membaca daftar kata-kata negatif yang terdapat kata stress namun setelah lembaran berisi kata-kata positif diberikan. Suasana kelas berubah, terdapat percakapan serta tawa yang hidup bahkan lebih besar dari sebelum eksperimen ini dilakukan (Makkita, http://makkita.wordpress.com/2011/01/27/positive-words-sejak-dini-strategi-mengatasi-kecemasan-berbicara-di-depan-umum/, diakses 1 Mei 2012).

b.      Kemampuan Luar Biasa Pada Awal Kehidupan Manusia
Sadarkah anda?? pada tahun-tahun awal kehidupan, anda berhasil mencapai prestasi-prestasi  mengagumkan, yaitu pada tahun pertama= anda belajar berjalan, tahun kedua=mulai berkomunikasi dengan bahasa, tahun kelima=mengenal 90% dari semua kata yang biasa digunakan oleh orang-orang dewasa, tahun keenam=belajar membaca. Semua itu berkat orangtua yang selalu mendampingi anda dan ketika kegagalan menghapiri anda, mereka meyakinkan anda dan terus mendorong anda untuk terus berusaha. Setiap keberhasilan diakhiri dengan kegembiraan dan tepukan, yang memompa diri anda untuk lebih berhasil lagi.
Lalu suatu hari, mungkin di kelas satu atau dua , anda duduk di kelas dan guru berkata,”Siapa yang dapat menjawab pertanyaan ini?”Anda mengacungkan tangan dengan semangat dan penuh keyakinan anda menjawabnya. Lalu anda mendengar beberapa anak tertawa dan guru berkata,”Tidak, itu salah. Saya heran melihatmu!”
Anda merasa malu sekali di hadapan teman-teman dan guru anda, yang merupakan salah seorang tokoh penting dalam hidup anda pada saat itu. Keyakinan anda terguncang, dan benih-benih keraguan mulai tertanam dalam jiwa anda. Bagi banyak orang, inilah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu, belajar menjadi tugas berat. Keraguan tumbuh dalam diri anda, dan anda mulai mengurangi resiko sedikit demi sedikit. Inilah salah kdahsyatan dari kata-kata negatif.
Sementara pada sebuah penelitian yang dilakukan Jack Canfield diketahui bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung setiap harinya. Jadi, komentar negative enam kali lebih banyak disbanding komentar positif (DePorter dan Hernack, terj., Alwiyah Abdurrahman, 2002: 22-25).

II.    Mental Positif
A.    Pengertian Mental Positf
Menurut Napoleon Hill
Sikap mental positif adalah sebuah keadaan jiwa yang percaya diri, jujur, dan membangun, dimana orang membuat dan menjaganya dengan metode yang dipilihnya sendiri, dilakukan dengan kekuatan niatnya sendiri, berdasarkan motivasi yang diadaptasinya sendiri.
Menurut W. Clement Stone
Sikap Mental Positif adalah pikiran, tindakan, atau reaksi jujur yang benar terhadap situasi atau lingkungan yang dihadapi, misalnya pikiran, aksi dan reaksi yang tidak melawan Hukum Tuhan atau hak sesama manusia, bagi mereka yang memiliki sikap mental positif. Anda adalah produk dari garis keturunan, lingkungan, tubuh fisik, pikiran sadar dan bawah sadar, posisi dan arah tertentu dalam ruang dan waktu dan sesuatu yang lain, termasuk kekuatan-kekuatan baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Ketika anda berpikir dengan sikap mental positif, Anda bisa mempengaruhi, menggunakan, mengendalikan dan menyelaraskan, atau menetralkan sebagian atau semua faktor ini . Anda dapat mengarahkan pikiran anda, mengendalikan emosi, dan menentukan tujuan anda. Anda adalah jiwa dengan sebuah tubuh.
Bila kita amati definisi yang diungkapkan oleh kedua pakar motivator international diatas intinya ada 3 hal yang dapat kita cermati yaitu Kondisi Mental (State), Reaksi, & Jujur. Jadi Sikap Mental adalah sebuah Kondisi mental yang merupakan Reaksi Jujur terhadap adanya sebuah aksi. Jujur di sini berarti apa adanya, Otomatis, tidak dibuat-buat, dan bukan hasil akal-akalan. Jadi merupakan sebuah reaksi yang spontanitas keluar dari lubuk hati kita yang terdalam (Sugiyanto, http://www.naqsdna.com/2011/08/keajaiban-sikap-mental-positif.html, diakses 29 April 2012)
B.     Bentuk Mental Positif
·         Berani
·         Percaya diri,
·         Bersemangat,
·         Memiliki keyakinan
·         Selalu berpikir positif
·         Punya integritas
·         Tanggung Jawab
·         Disiplin
·         Menghargai orang lain
·         Selalu berpikir ke depan
·         Sadar bahwa tidak ada jalan yang rata untuk sukses
·         Pantang menyerah

III.   Pengaruh Positif Words pada Pembentukan Mental Positif
Pikiran dalam otak manusia ibarat sebuah baterai yang harus diisi sebelum dapat digunakan maksimal. Ketika otak kosong, daya atau kemampuan yang dapat kita akses melalui otak tidaklah maksimal. Ini bisa diperparah dengan cara kerja otak yang akan memasukkan apa saja untuk dijadikan sumber tenaga agar ia tetap mampu bekerja. Kebutuhan utama tubuh adalah udara, air, dan makanan. Jika salah satu  kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, dengan cara apapun kita harus mencari penggantinya agar tetap hidup. Demikian juga pikiran kita, apabila pemikiran positif tidak dimasukkan sebagai sumber tenaga bagi otak, sumber tenaga apa pun yang didapatkan otak walau negatif akan dimasukkan sebagai penggantinya.
Cara kerja otak diisi dengan apa yang sering kita pikirkan, lihat, baca, dengar, apa yang menjadi kepercayaan kita, serta sesuatu yang pernah terjadi dalam hidup. Otak akan menyimpan semua sumber daya atau kemampuan tersebut, itu positif atau negative, kecuali anda memilih secara sadar mana yang anda  inginkan untuk disimpan atau dibuang. Daya-daya ini (entah positif atau negative) yang akan dikeluarkan otak ketika sedang dibutuhkan.
Ketika sumber negative lebih dominan, maka pada saat otak dibutuhkan untuk mengeluarkan sumber daya tersebut, sumber daya negatiflah yang akan keluar. Akhirnya semua sumber daya negative inilah yang menjadi kepercayaan dan yang akan digunakan otak ketika mereka mencari solusi atas setiap tantangan hidup. Jadi, jangan heran jiwa banyak yang bertambah frustasi ketika mengharapkan hal yang lebih baik. Jika seperti ini, maka mental negatiflah yang akan terbentuk. Sebaliknya, apabila sumber positif yang dominan maka individu terseut senantiasa akan berpikir positif dalam mengahadapi semua permasalahan dan tantangan hidup, sehingga terbentuklah mental positif yang kokoh (Kusnadi, 2009: 38-41)

IV.   Penerapan Positive Words dalam Kelas Sebagai Cara Pembentukan Mental Positif Peserta Didik
Ketika seorang anak mulai memasuki masa sekolah, waktunya tidak lagi sepenuhnya berada di rumah. Terlebih sekarang ini banyak sekolah menetapkan jam sekolahnya hingga sore hari. Tentunya disini, peran guru akan sangat penting dalam perkembangan mental peserta didiknya.
Yang harus dilakukan oleh Guru untuk membentuk mental positif peserta didik:
(secara konsisten)
1.      Memberikan pujian pada peserta didik
Peserta didik akan berkembang secara optimal melalui perhatian guru yang positif, sebaliknya perhatian yang negative akan menghambat perkembangan peserta didik. Mereka senang mendapat pujian dari guru, dan merasa kecewa jika kurang diperhatikan guru diabaikan.
Namun, sayang kebanyakan guru terperangkap dengan pemahaman yang keliru tentang mengajar, mereka menganggap mengajar adalah menyampaikan materi kepada peserta didik, mereka juga menganggap mengajar adalah memberikan sejumlah pengetahuan kepada peserta didik. Tidak sedikit guru yang sering mengabaikan perkembangan kepribadian peserta didik, serta lupa memberikan pujian kepada mereka yang berbuat baik, dan tidak membuat masalah. Biasanya guru baru memberikan perhatian kepada peserta didik ketika rebut, tidak memperhatikan, atau mengantuk di kelas, sehingga menunggu peserta didik berperilaku buruk.
2.      Menyisipkan Motivasi dalam Proses Pembelajaran
Selingi pelajaran dengan kata-kata motivasi atau sisipkan video atau lagu motivasi yang dapat membangkitkan semangat, memotivasi, menginspirasi, dan menciptakan pikiran positif peserta didik dalam berprestasi dan berkarya.
3.      Selalu ucapkan kata-kata positif, seperti kalian pasti bisa, terimakasih, soal ini mudah, hebat, luar biasa, dan lain-lain. Buat peserta didik juga ikut mengatakannya dan jadikan itu menjadi suatu kebiasaan.


4.      Jauhi kata-kata negatif
Semua yang dikatakan harus termasuk dalam kategori positif. Jangan satupun yang melambangkan kata negative. Ini akan berpengaruh pada  pikiran dan emosi siswa, dan hindari kata ‘jangan…………(yang kemudian diikuti kata negatif) karena terkadang yang terekam justru kata negatifnya.
Berikut kata-kata negative yang seringkali diucapkan oleh pendidik:
a.       “Soal ini tidak sulit kok” ubahlah menjadi “soal ini mudah kok”
b.      “Jangan tergesa-gesa dalam mengerjakan” ubahlah menjadi “pelan-pelan saja, masih banyak waktu kok”
c.       “Tidak usah takut untuk bertanya” ubahlah menjadi “Beranikan diri kalian untuk bertanya”
Ubahlah semua kata-kata negative yang sering diucapkan tersebut menjadi kata positif yang dapat mengembangkan mental positif peserta didik dan lebih mudah mencerna kalimat positif daripada kita mengatakan kalimat negatif + larangan, meskipun artinya sama.
5.      Jangan pernah sekalipun mengatakan pekerjaan anak itu salah, cukup katakan ‘Belum benar, ayo teliti lagi’ atau ‘ayo coba lagi’ dengan diiringi kata positif ‘kalian pasti bisa’ dan apresiasi lah keberanian mereka untuk menjawab pertanyaan.















PENUTUP

I.       Kesimpulan
1.      Positive Words atau Kata Positif adalah kata-kata yang mampu membuat individu merasa sehat, pengharapan, bahagia, semangat, dan riangan.
2.      Sikap mental positif adalah sebuah keadaan jiwa yang percaya diri, jujur, dan membangun, dimana orang membuat dan menjaganya dengan metode yang dipilihnya sendiri, dilakukan dengan kekuatan niatnya sendiri, berdasarkan motivasi yang diadaptasinya sendiri.
3.      Positive Words berperan dalam pembentukan mental positif karena otak bekerja dengan cara diisi dengan apa yang sering kita pikirkan, lihat, baca, dengar, dan apa yang menjadi kepercayaan kita, serta sesuatu yang pernah terjadi dalam hidup.
4.      Para pendidik dapat menerapkan budaya positive words dalam kelas dengan cara  memberikan pujian pada peserta didik, memberikan motivasi pada peserta didik, jauhi kata-kata negatif, dan jangan pernah sekalipun mengatakan pekerjaan anak itu salah.
5.      Dengan terciptanya suatu kebiasaan kata-kata positif dalam setiap komunikasi dalam pembelajaran, maka pada setiap peserta didik akan tercipta sikap mental positif

II.    Saran
1.      Sebaiknya dibentuk Program Positive Words yang wajib dipatuhi oleh setiap pendidik.
2.      Diadakan kotak kritik dan saran dimana siswa dapat menuangkan kritik dan saran terhadap guru secara bebas, dan hasilnya dapat digunakan sebagai dasar untuk kebijakan sekolah.









DAFTAR PUSTAKA

DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2002. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman Dan Menyenangkan (diterjemahkan dari Quantum Learning: Unleashing The Genius In You oleh Alwiyah Abdurrahman). Bandung: Penerbit Kaifa.
Jauharo, Alfi. 2011. Kepribadian Positif, http://ajauharo.blogspot.com/2012/01/kepribadian-positif-positive-thinking.html diakses pada 30 April pukul 23.08 WIB.
Kusnadi, Andrian. 2009. Mangament For A Great Life: Rahasia Sukses Kelola Diri. Jakarta: Gramedia
Makkita. Positive Words Sejak Dini, Strategi Mengatasi Kecemasan Berbicara Di Depan Umum, http://makkita.wordpress.com/2011/01/27/positive-words-sejak-dini-strategi-mengatasi-kecemasan-berbicara-di-depan-umum/, diakses 1 Mei 2012 pukul 07.24 WIB.
Mulyasa, E. 2006. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sugianto, Eddy. 2011. Keajaiban Sikap Mental Posiif, http://www.naqsdna.com/2011/08/keajaiban-sikap-mental-positif.html, diakses 29 April 2012 pukul 22.27 WIB.

Apa jadinya Indonesia dengan Generasi Muda APATIS?




Pagi ini tak seperti biasanya suasana sangat cerah, tak ada hujan yang membuat aroma tanah terkuak, tak ada pula awan gelap berarak menutupi langit. Kini matahari dengan berani menampakan sinar kekuasaan Illahi, burung-burung pun terbang bersama dari satu tempat ke tempat lain, membuat nuansa pagi akhir pekan ini terasa begitu hangat.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera seluruh warga Desa Condong Catur yang saya cintai...” teriak seorang laki-laki separuh baya di atas panggung kecil yang didirikan di tengah lapangan Desa. Sapaan itu terdengar menunjukkan bahwa orang tersebut sangat menjunjung tinggi paham Pluralisme bukan?? Ucapan salam umat Islam yang kemudian dikombinasikan dengan salam  yang biasa digunakan umat Kristiani. Tapi bagiku itu hanyalah upaya cari muka orang-orang yang sebentar lagi wajahnya akan terpampang di kertas Tempat Pemilihan Umum. Dan sekarang ini, di tempat ini mereka tengah melakukan ajang promosi diri untuk mencari pendukung sebanyak-banyaknya dengan memberikan segudang janji-janji yang sangat manis kedengarannya, tapi entahlah aku tak bisa bilang itu janji palsu, tapi aku juga tak pernah beharap mereka akan merealisasikan janji-janji itu.
Aku Azzam, mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta Semester 5. Perlu aku tegaskan diawal bahwa aku bukanlah pendukung partai yang sekarang ini sedang berkoar-koar di Desa-ku ini. Lalu kenapa aku sekarang aku berada di lapangan ini?? Jawabannya simple, karena minggu lalu tim sukses partai ini telah berkoar bahwa setiap warga yang hadir di acara ini akan dibagikan uang sebesar Rp 50.000,00, jadi itulah alasan keberadaanku disini. Rasional bukan?? Hari ini aku tidak memiliki agenda penting jadi opportunity cost-ku untuk mengikuti acara ini sangat kecil, dan uang senilai lima puluh ribu ini kurasa bisa menutup kebutuhan isi ulang modemku selama sebulan dan bila ada partai lain yang melakukan hal yang sama aku rasa aku pun akan berusaha meluangkan waktuku.
Setelah acara selesai dan aku mendapatkan apa yang kuinginkan, aku segera bergegas pulang ke rumah. Cuaca panas membuatku ingin segera menegak air dari dalam lemari es.
“Gleek..Gleek..Gleek..” aku terlihat sangat menikmati air es yang kuminum, karena memang aku merasa sangat haus.
“Mas Azzam....jangan dihabisin airnya, itu kan aku yang masukin airnya ke kulkas,”teriak kesal Reza, adik semata wayangku yang kini masih bersekolah di bangku kelas 3 Sekolah Dasar.
“Gleek..”baru saja aku menghabiskannya. Melihat botolnya sudah kosong, mukanya menjadi merah bak kepiting rebus, entah karena menahan marah atau menahan tangis.
“Upss...maaf Za, mas haus banget e...mas ganti aja ya? Kamu mau apa? Coca-cola? Sprite? Fanta? Ice Cream...”
“Ice Cream....”ucapnya memoton ucapanku. Ya seperti anak kecil yang lain, dia sangat suka ice cream.

Di Minimarket.....
            Dari kotak tempat ice cream aku langsung mengambil 2 Ice Cream Fest yang biasanya kami beli.
            “Mas, Magnum ada yang baru,” ucapnya sambil menghentikan langkahku menuju kasir.
            “Terus....??” tanyaku seolah tak tahu jalan pikiran adikku yang telah berencana memeras kakaknya ini. Bukannya menjawab, dia hanya menatapku dengan tatapan memelas penuh harap.
            “Hufh, Okelah untuk sekali ini aja loh. Nih tuker ice cream-nya,” ucapku menyerah sambil menyodorkan ice cream Fest yang aku ambil tadi untuk ditukarkan dengan Magnum. Untuk sekali ini dia berhasil memerasku, biasanya aku tak pernah mengizinkannya membeli ice cream dengan harga lebih dari Rp 4.000,00. Tapi kali ini aku telah menggunakan Rp 25.000,00 hanya untuk 2 batang ice cream. Tapi tak apalah, uangnya toh juga aku dapat dengan percuma.
 

           
            Setelah weekend tentunya akan hadir hari pertama dalam minggu atau yang mungkin bisa saja disebut weekfirst atau weekbegin, tapi yang pasti itu bukan hal yang penting untuk dibahas. Senin selain berarti awal pekan, ia juga diartikan sebagai awal kembalinya aktivitas setelah beristirahat di akhir pekan. Dan karena aku adalah mahasiswa tentunya di hari Senin ini aku kembali beraktivitas di kampus.
            Pagi ini sedikit gerimis, aku harus mengenakan mantel ketika berangkat tadi. Tapi yang namanya kampus mau gerimis, hujan besar pun pasti tetap ramai. Setelah memarkir motor dan melipat mantel, aku segera berjalan menuju ruang kelas.
            Di sela gerimis ada juga ternyata mahasiswa yang duduk tenang membaca buku, namanya Budi, mahasiswa jurusanku tapi satu angkatan lebih muda dibawahku, dan sejak semester 1 dia sudah dikenal sebagai si kutu buku. Kalau aku tebak di masa depannya kelak dia akan memiliki profesi yang berkutat pada buku, mungkin Dosen, Guru atau penulis buku.
            Dan hanya berjarak 5 meter darinya berkumpul sekelompok mahasiswa gaul, metal dan selalu menganggap dirinya keren. Mereka adalah mahasiswa jurusan Manajemen seangkatan denganku. Aktivitas mereka sehari-hari hanya kuliah, nongkrong, nge-band, dan aktivitas menyenangkan duniawi lainnya. Kalau aku tebak di masa depannya kelak dia akan berusaha keras agar mendapat warisan sehingga tidak perlu bekerja atau paling tidak menjadi model dengan modal wajah tampan dan kerennya.
            Dan disekelilingku lainnya adalah mahasiswa normal yang menjalani hidup secara wajar sebagai seorang mahasiswa, yaitu kuliah, mengerjakan tugas, belajar jika ada ujian dan selebihnya mereka akan menjadi follower atau justru mungkin apatis. Dan aku rasa aku masuk kelompok yang terakhir ini dan aku adalah orang yang apatis.
            “Azzam.......”teriak seseorang dari arah belakang badanku. Seketika aku membalikkan badan aku temukan dia, Dirga.
            “Ini Zam, baca,” Dirga menunjukan selembar leaflet padaku. “AaaaaaBbbbbbCccccDdddddEeeeeeeeeFfffffffXxxxxxxxYyyyyyZzzzzzzzzOooooPppppppppQqqqqqqRrrrrrSssssssTttttttUuuuuuuu...............” jelasnya panjang lebar menjelaskan tentang kegiatan Seminar yang tercantum di leaflet itu.
            Untung Dirga datang, aku lupa masih ada 1 jenis mahasiswa lagi selain 3 jenis mahasiswa yang tadi kujelaskan, yaitu mahasiswa Aktif. Dan Dirga termasuk didalamnya. Seperti yang kita tahu mahasiswa itu selalu identik dengan kekritisannya, sikap kritis yang terbangun dari diskusi antar mahasiswa yang membahas permasalahan sosial, ekonomi dan selalu berujung pada politik. Beberapa dari mereka bahkan juga menggunakan organisasi sebagai wadah mereka menyalurkan aspirasi. Bagi mereka mungkin itu adalah aktivitas utama mereka di kampus, bukan lagi perkuliahan. Dan aku hanya punya 2 gambaran tentang mereka, pertama mahasiswa yang membuang waktu luangnya untuk aktivitas yang mengurangi tenaga, pikiran bahkan mungkin uang untuk suatu hasil yang nihil, kedua mahasiswa yang berupaya mencari koneksi untuk menjamin masa depan mereka nanti.
            Aku hanya mengangguk dan sesekali berkata “Iya..” atas luncuran kata demi kata promosi yang Dirga sampaikan karena aku tahu jika aku mengelak pasti aku akan lebih lama di posisi pendengar setia seperti ini. Dan setelah yakin aku telah terbujuk rayunya, dia pun beranjak dariku dan kembali membujuk orang lain yang berdiri tak jauh dari posisiku sekarang berdiri.
            Sambil tersenyum tipis dan sedikit menggeleng melihat tingkah teman sekelasku itu, aku pun kembali melangkah menuju kelas.
            “Sepertinya Dirga baru saja salah sasaran...”ucap lirih seorang wanita dari arah belakang tubuhku yang kembali menghentikan langkahku menuju kelas.
            Dia Reina, mahasiswa jurusan Manajemen satu angkatan denganku. Dia sangat terkenal dari kalangan mahasiswa, dosen hingga masyarakat luar yang dia bantu dan tentunya juga dikenal di kalangan orang yang ia tentang. Selain keaktifannya di organisasi dan aksi sosial, dia juga sangat cantik, cerdas, dan memiliki wibawa. Sangat istimewa. Dia idola mahasiswa pria di kampus ini, termasuk aku.
            “Iya kan??” tanyanya sambil tersenyum menyindirku.
            “Ya...tapi Dirga memang selalu begitu, tak pernah menyerah. Makanya aku yang harus mengalah untuk berkata ‘Ya, Ya, dan Ya’..” ucapku sambil tertawa kecil.
            “Hahaha..ya bener banget, Dirga itu memang SDM yang luar biasa bagi organisasi kami,” ucap Reina sambil sesekali kami melihat ke arah Dirga.
“Ehmm tapi kenapa kamu gak tertarik ikut Seminar itu? Pembicaranya Mentri loh, Mentri yang diisukan akan mencalonkan diri sebagai Presiden di bulan April besok,” lanjutnya dan kini aku mulai merasa dia pun sedang bertugas layaknya Dirga.
“Uhhh,, hawa-hawanya kamu udah mulai kaya Dirga ni..” kataku sambil tersenyum simpul.
“Alasannya simple, karena aku gak suka sama hal yang menyangkut politik, terkecuali bila itu menguntungkan untukku. Politik itu hanya alat, alat untuk menguntungkan segilintir orang dengan menghalalkan segala cara termasuk membunuh orang lain. Dan aku gak akan pernah mau jadi bagian dari mereka,” lanjutku.
“Azzam, dari perkataanmu tadi terlihat jelas kamu adalah orang yang baik, kamu ingin tercipta keadilan di Negara ini, hanya saja responmu atas kebenciammu terhadap ketidakadilan ini merubahmu menjadi apatis. Padahal bisa saja kamu menjadi bagian dari agen perubahan Negeri ini. Hanya kita loh, generasi muda yang dimiliki ibu pertiwi yang dia harapkan bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik,”ucap Reina.
“Hhh..”ucapku menahan tawa.
“Ya, memang begitu pada umumnya seorang anak muda berpikir karena mereka masih memiliki Idealis. Tapi lihat saja 5 sampai 10 tahun ke depan idealis mereka akan runtuh seiring tingginya jabatan yang mereka miliki. Kamu tahu pejabat-pejabat tinggi yang sekarang ini terkena kasus korupsi, mereka mudanya pun sangat idealis tapi sekarang........,” ucapku membuat Reina menatap tajam diriku.
“Sorry Rein, aku bukan maksud nge-judge kamu seperti itu atau apalah....Aku cuma mau jelasin alasanku gak mau jadi kaya kalian. Eee... maksudnya kaya kalian yang sibuk ngurus ini itu,” lanjutku setelah sadar kata-kataku sebelumnya mungkin sudah terlalu kasar.
“Gak apa-apa kok Zam. Itu prinsip kamu, jalan hidup yang kamu pilih. Hanya saja hati kecilku selalu berkata kamu itu orang yang baik. Aku tahu dan untuk sekarang ini aku akan menghormati keinginanmu untuk tidak terlibat dalam urusan politik. Tapi aku yakin kamu peduli kan sama aksi sosial?” ucap Reina membuatku menjadi penasaran tentang apa sebenarnya yang ingin dia katakan.
“Ada seorang ibu muda, dia baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampa, mungkin setampan ayahnya. Hanya saja ayahnya tak sempat melihat ketampanan putranya, dia meninggal dalam kecelakaan pesawat. Dan kini pihak orang tua dari suaminya menginginkan bayi itu berada di asuhan mereka karena sedari awal mereka tak pernah setuju dengan pernikahan putranya, biasa lah masalah kesederajatan sosialekonomi. Sangat kasiankan bila seorang ibu harus dipisahkan dari anak yang baru saja ia lahirkan??” tuturnya.
Dan aku membutuhkanmu untuk memenangkan persidangannya, aku butuh kemampuanmu dalam berdebat,” lanjutnya menjawab pertanyaan yang sebelumnya tersirat di benakku.
“Azzam ayo masuk, pak Bambang udah datang tuh,”teriak Dirga seraya menarik lenganku.
“Kamu kuliah dulu aja, nanti aku hubungi kamu lagi,”ucap Reina yang kemudian tersenyum manis. Sangat Manis.
Senyum itu yang terakhir aku lihat sebelum aku meninggalkannya dan senyum itu  yang mengakhiri percakapan panas kita. Aku sepertinya benar-benar telah jatuh hati padanya.


 
                                          
            Senyuman itu sungguh membayangi pikiranku, ya aku akui aku memang kagum sejak semester 1 padanya, tapi sebelumnya tak pernah seperti ini. Aku tak pernah melihat dirinya mondar-mandir dalam pikiranku seperti ini. Aku tak pernah menemukan wajahnya dalam setiap pandanganku seperti ini. Dan kenapa setiap mengingat senyum manis itu rongga jiwaku menjadi sangat hangat? rasanya sangat nyaman. Tapi yang jadi masalah kenapa aku selalu tersenyum-senyum sendiri??? Itu sangat memalukan!!!
            “Hahaha...masa si mas Azzam gitu mas? Mas Azzam ngelamun di kelas?? Udah gitu senyum-senyum sendiri?? Sampai dibentak bapak Guru??”tanya Reza seolah ia tak percaya atau justru ingin mempertegas betapa memalukan kakaknya ini.
            “Dosen Reza, bukan bapak Guru,” terang Frian, teman sekelasku yang kini berada di rumahku untuk menceritakan kisah memalukanku di kampus kemarin pada Reza, adikku.
            “Kalo dari gejalanya si ya Za, satu ngalamun, dua senyum-senyum sendiri, sudah bisa di diagnosa kalo kakakmu itu mengidap virus cinta...hahaha,” terangnya seperti sangat puas mengejekku.
            “Suka mba-mba gitu maksudnya mas?” tanya Reza dengan wajah yang terlihat sangat lugu. Wah belagaknya Frian bakal mencemari otak adikku dengan hal yang tidak-tidak ini.
            “Iya Reza sayang, ya masa suka sama mas-mas. Kalo gitu mas Frian dalam bahaya dong, hahahahah....” tawanya sungguh sangat menggelegar.
            “Hahahaha...” dan adikku tertawa mengikuti tawa Frian, ya meskipun sedikit terlambat. Pasti dia hanya ikut-ikutan, dasar anak kecil.
            “Hahahaha,, tapi tanda ketiga aku belum liat nih,” ucapnya mengakhiri tawanya dan kemudian menatapku dengan tatapan penuh tanya.
            “Tanda ketiga apa mas?? Apaaa??” tanya Reza.
            Entahlah kenapa anak kecil ini menjadi sangat antusias dengan urusan semacam ini.
            “Tanda ketiga itu, seharusnya kakakmu ini udah sering pegang HP, sms-an gitu atau telponan kek. Tapi kayaknya aku belum liat tanda ketiga itu,” ucap Frian berlaga seperti detektif.
            “Ada mas, ada.....tanda ketiga itu ada,” teriak Reza dengan penuh semangat seolah dia baru saja memecahkan masalah besar.
            “Dari kemarin pulang kuliah, mas Azzam pegang HP terus. Buka kunci, mati kunci buka kunci, mati kunci. Kaya lagi nunggu sms gitu mas,” terang Reza mengejutkanku.
            Apa kemarin aku seperti itu??? Oh sungguh memalukan, dan kenapa Reza bisa memperhatikanku sedetail itu. Ya memang dari kemarin hingga saat ini aku menunggu Reina menghubungiku. Karena sebelumnya dia bilang akan menghubungiku untuk membahas permintaannya kemarin. Aku memang tertarik dengan kasus yang ia ceritakan, bagaimanapun juga ibu kandunglah yang memiliki hak penuh pada anak yang ia kandung dan ia lahirkan. Akan sangat menyakitkan bagi ibu dan anak itu bila harus dipisahkan. Meski selain itu, entah kenapa aku berharap Reina segera menghubungiku.
            “That’s Right, udah bisa jadi Hipotesis yang 99% tepat ini. Sekarang kita tinggal cari tahu kebenarannya dari orang yang bersangkutan,” ucap Frian mantap dan kali ini ia bergaya seolah dia detektif professional atau mahasiswa angkatan tua yang ingin menyelesaikan penelitian skripsinya.
            Dan sekarang tatapan mereka seperti ingin memakanku hidup-hidup.
            “Siapa Zam??”tanya Frian tanpa basa basi lagi.
            “Siapa mas, siapa mba-mba-nya??”teriak Reza memecah telingaku.
            Mereka terus saja berteriak menanyakan siapa wanita itu. Teriakan mereka sungguh membuat telingaku sakit. Tapi masa ia aku harus bilang dengan gamblang, wanita itu adalah Reina. Konyol sekali rasanya.
            Di tengah teriakkan mereka tiba-tiba handphone-ku berdering. Reina...dia meneleponku. Aku harus segera mengangkatnya, tapi bagaimana aku bisa kabur dari dua orang ini??
            Dan tanpa pikir panjang, aku lari ke kamar dan mengunci pintunya....
            Awalnya mereka sangat berisik dengan menggedor-gedor pintu, tapi setelah terdengar kata “Assalamu’alaikum..” sebagai tanda aku telah mengangkat telepon, maka mereka pun terdiam, khusyuk menguping pembicaraanku.
            Wa’alaikumsalam, aku gak ganggu kan?” tanyanya dari seberang sana.
            “Gak lah Rei, ada apa?” tanyaku berlagak tidak tahu apa tujuan dia meneleponku.
            “Masa lupa si, kan kemarin aku bilang mau hubungin kamu buat bahas masalah yang kemarin. Gimana? Udah kamu pikirin?”
            “Owh itu..ya kalo masalah itu aku akan berusaha semampuku untuk membantu ibu itu, emang kapan persidangannya? Dan paling gak kita butuh waktu mengumpulkan data untuk memperkuat pihak ibu itu di persidangan nanti,” terangku serius.
            “Persidangannya minggu depan Zam, data dan bukti udah aku kumpulkan kok Zam. Kamu gak kuliah hari apa? Nanti aku ke rumah kamu aja bawa datanya,” ucapnya.
            “Besok jam 1 aku kosong kok. Emang kamu tahu rumahku Rei? Ketemu di kampus juga ga apa-apa Rei,” ucapku.
            “Tahu dong, rumahmu  deket rumah Sevie anak Manajemen kan? Ga apa-apa besok aku tempatmu bareng Sevie kok. Gimana?” ucapnya.
            “Oh oke Rei kalo gitu, besok sms aja,” ucapku singkat.
            “Ya beres Zam, makasih ya. Assalamu’alaikum...”ucapnya hendak mengakhiri perbincangan telepon kami.
            “Ya Rei, Wa’alaikumsalam...” dan aku pun mematikan jaringan teleponnya.
            Setelah membuka pintu kamar, aku temukan mereka berdua masih setia di balik pintu dengan tatapan tak sebringas sebelumnya.
            “Reina? Masalah serius ya? Sampe bawa persidangan segala,” tanya Frian. Sepertinya dia benar-benar tak berpikiran kalo Reina itu adalah wanita yang mereka ingin tahu, mungkin karena pembicaraan kami tadi terdengar sangat serius. Syukurlah..
            “Iya, ada ibu muda yang......................” terangku menjelaskan duduk permasalahannya.
            “Untuk apa kamu lakuin itu? di Undang-undang Negara kita sudah pasti membela ibu muda itu Zam,” ucap Frian.
            “Gak sesimpel itu ham kalo urusannya udah sama uang. Pihak penuntut hak adopsi bayi itu orang kaya yang punya modal, modal buat nyuap hakim di persidangan. Hakim yang sudah berhadapan dengan tumpukan uang biasanya menjadi sangat pintar memutarbalikkan makna bunyi pasal-pasal dalam Undang-Undang agar memihak pada orang yang memiliki modal. Jadi tugas aku dan Reina adalah membuat Hakim gak bisa memutarbalikkan makna pasal-pasal itu,” terangku.    
            “Oh gitu toh..kalian harus berjuang maksimal ya,”ucapnya mengakhiri pembicaraan kami tentang Reina.
 


Rabu, 12 Februari 2014
            Siang ini terik matahari sangat panas, rasanya ingin sekali melepas baju, membasahinya, dan kemudian memakainya lagi. Tapi tentu aku tak akan benar-benar melakukannya, kenapa??? Karena sekarang jam 12.09, yang berarti kurang dari 1 jam lagi Reina akan ke rumahku.

Pukul 13.03 WIB
            “Assalamu’alaikum.....”terdengar suara salam.
            “Wa’alaikumsalam....”jawabku seraya membuka pintu.
            “Seperti yang kuduga kamu datang tepat waktu Rei. Masuk Reina, Sevie,”lanjutku mempersilakan kedua tamuku ini masuk.
            Aku mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. Dan tanpa buang waktu kami langsung mulai mengolah bahan yang telah disiapkan Reina. Reina mengeluarkan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan.
            “Ini buku nikah orangtua sang anak, dan ini adalah akte kelahiran yang baru saja dibuat. Meski sebenarnya aku tidak yakin apakah ini akan berguna,” tuturnya sedikit ragu.
            “Dan aku telah mengumpulkan pasal-pasal yang menguntungkan pihak kita,” lanjutnya seraya membuka laptop, “Pasal 105 Komisi Hukum Islam yang menyatakan anak yang berusia dibawah 15 tahun berada dibawah asuhan sang ibu,” tuturnya seraya memperlihatkan layar monitor laptopnya padaku.
            “Ya aku kemarin juga telah membaca Undang-Undang Perlindungan Anak, beberapa pasalnya bisa kita gunakan untuk menguatkan posisi kita, tapi kita juga perlu mencari pasal yang mungkin mereka pakai untuk menguatkan posisi mereka, seperti keadaan ekonomi,” ucapku mantap.
            Kami mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan pasal yang akan digunakan pengacara pihak lawan untuk menjatuhkan pihak kami, sehingga kami bisa memikirkan sanggahan yang tepat untuk berbalik menyudutkan pihak lawan. Entah mengapa aku menjadi sangat antusias menangani kasus ini, aku tahu nanti di persidangan aku harus menghadapi pengacara yang pasti sudah professional karena itu bidangnya dan menghadapi kemungkinan keberpihakkan hakim pada pihak yang bermodal.
            Di sela diskusi kami, Reina menunjukkanku sebuah video yang mengambil rekaman ibu bayi dan bayinya yang baru saja ia lahirkan 2 minggu yang lalu. Vidio itu membuatku semakin bersemangat untuk menangani persidangan itu. Meski disini kami bukan pihak professional kami akan berusaha melakukan dengan maksimal. Keterbatasan dana untuk menggunakan jasa pengacara professional takkan melemahkan semangat kami, karena kami bekerja dengan hati.
            Aku tak sabar menantikan hari persidangan itu ..........
 

            Hari ini langit begitu cerah, mentari pagi menyapa dengan kehangatan yang terasa begitu nyaman. Aku harap suasana hatiku setelah persidangan nanti akan sama seperti nuansa pagi yang hangat ini. Aku ingin bisa memberi kebahagiaan bagi sepasang ibu muda dan bayi kecilnya.
            Hari ini adalah Sidang ke-2 dari kasus ini, Karena di sidang sebelumnya upaya perdamaian dengan Mediasi yang dilakukan oleh Ketua Majelis Hakim telah ditolak. Kedua belah pihak tidak mendapatkan keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Dan hari ini melalui persidangan, keputusan Hakim akan menjadi mutlak harus diterima oleh kedua belah pihak. (kecuali jika melakukan banding).
            Suasana tempat sidang cukup sepi, dari pihak Penggugat hanya dihadiri oleh Penggugat, yaitu orang tua dari almarhum suami pihak Tergugat, selain itu hadir 2 anak dan 2 menantunya, serta pengacaranya. Sementara di pihak kami hadir Tergugat, yaitu Nur Khairina, ibu biologis dari anak yang ingin diambil hak asuhnya oleh pihak Penggugat, kemudian ibu Tergugat yang tengah menggendong cucu kecilnya dan beberapa sanak saudara, dan tentunya kami mahasiswa yang mencoba membantu Tergugat mendapatkan haknya sebagi seorang ibu.
            Tepat pada jadwal persidangan yang telah ditentukkan, pada pukul 09.00 WIB persidangan dibuka oleh Ketua Majelis Hakim yang ditandai dengan 3 kali ketukan palu. Sidang resmi dibuka dan hal yang dilakukan pertama kali oleh Ketua Majelis Hakim adalah pengajuan upaya perdamaian seperti pada sidang ke-1. Tapi sudah jelas pihak Penggugat dan Tergugat menolak melakukan upaya mediasi. Dan selanjutnya Ketua Majelis Hakim memimpin persidangan dan meminta Penggugat membacakan gugatan pada Tergugat.
            “Saya menggugat Ibu Nur Khairina untuk mengambil alih hak asuh cucu kandung bapak Ikhsan dari anak bungsunya, yaitu almarhum bapak Khaerul. Kemampuan Ekonomi dan Sosial menjadi landasan pihak Penggugat mengambil alih hak asuh, karena dikhawatirkan tumbuh kembang anak tersebut akan kurang maksimal bila diasuh oleh ibu kandungnya yang tidak memiliki pekerjaan,” ucap pak Farhat selaku pengacara dari pihak Penggugat
Setelah pihak Penggugat selesai memaparkan gugatannya, Ketua Majelis Hakim mempersilakan pihak Tergugat untuk membela diri atas gugatan yang ditujukan padanya, yang berarti sekarang giliranku berbicara sebagai pembela pihak Tergugat.
            “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucapku membuka pembicaraan dan berharap Allah akan membantuku. Amiin..
            “Disini saya akan menanggapi gugatan dari pihak Penggugat. Mengingat usia anak yang diperebutkan hak asuhnya kini masih berusia 21 hari, saya rasa Majelis Hakim lebih bisa menentukan pihak mana yang lebih berhak mengasuh anak tersebut, pihak Tergugat, yaitu ibu biologisnya yang bisa memenuhi kebutuhan ASI yang sekarang ini jelas sangat dibutuhkan sang anak atau pihak Penggugat?” paparku.
            “Selain itu alasan kemampuan ekonomi dan sosial menurut saya bukanlah suatu masalah bagi pihak Tergugat untuk mengasuh anak tersebut, karena bagi anak seusia itu jelas yang ia butuhkan adalah kasih sayang seorang ibu dan disini pihak Tergugat tidak sendiri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi anak tersebut, disini masih ada kakek nenek dan keluarga besar lainnya yang akan turut membantu,” tambahku.

Waktu berjalan cepat............
            Aku pikir perfomaku sudah cukup baik, tapi ternyata semuanya berbalik. Majelis Hakim terlihat sekali memihak pihak Penggugat, Majelis Hakim menangkal Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang menetapkan hak asuh anak jatuh pada ibu jika anak berusia dibawah 15 tahun dengan menyatakan bahwa anak tetap dapat mendapatkan ASI dari sang ibu karena pihak Penggugat telah setuju mengizinkannya dan dengan diasuh kakek dan neneknya maka anak tersebut bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
            “Bagaiaman mungkin hak asuh tidak jatuh pada ibu kandung anak? Keputusan ini sudah benar-benar menyalahi ketentuan yang ada,” ucapku sedikit emosi.
            “Ah kita ajukan saja banding, kalo perlu kita tuntut Hakimnya,” tambahku kali ini benar-benar penuh dengan emosi.
            “Mengajukan banding itu hanya akan berbuah nihil. Saya sudah sangat berterima kasih dengan bantuan bantuan kalian. Saya mendengar mertua saya telah menyogok Hakim untuk memenangkan persidangan ini, jadi apapun yang kita lakukan, sekarang tetap saja Rehan akan diasuh mereka. Saya sudah cukup bahagia kok dengan diperbolehkan untuk memberikan ASI kepada Rehan. Saya tidak ingin almarhum suami saya sedih karena permusuhan saya dengan keluarganya, ”ucap Nur Khairina yang tiba-tiba datang menghampiri gerombolan kami.
            “Ibu kenapa bicara seperti itu? Kita pasti bisa mengusahakan lebih, karena Undang Undang dengan jelas menegaskan hak asuh anak dibawah 15 tahun harus jatuh pada ibu kandungnya. Hakimnya saja yang membuat keputusan sangat menyimpang,” tegasku.
            “Azzam, jaga ucapanmu..” ucap Reina mencoba mengembalikan emosiku.
            “Untuk apa aku menjaga ucapanku pada orang seperti itu?,” tuturku sedikit kasar.
            “Kalo kamu saja tidak bisa berpikir dingin, apa mungkin kamu bisa membantu orang lain?” ucap Reina sedikit menyadarkanku.
            “Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyaku dengan sedikit lebih tenang.
            “Ah.. aku tahu kita laporkan saja Hakim ini ke polisi, kita tuntut dia,” ucap Dirga membuat suasana yang tadi sudah sedikit dingin menjadi sedikit panas lagi.
            “Kamu tuntut Hakim ke Polisi? Mereka itu gak ada bedanya, kamu kaya laporin maling ke maling tahu, hahahha...”ucap seorang teman kami dari jurusan Akuntansi.
            “Hush kamu tuh ngomong apa? Denger ya, gak semua Hakim, Polisi, dan penegak hukum lainnya berlaku tidak adil seperti itu. Ya meski mayoritasnya demikian, tapi ingat mayoritas dari mereka berlaku seperti itu karena sistem. Seperti yang dulu pernah kamu bilang Zam, banyak orang idealis berubah menjadi pelaku kejahatan seiring tingginya jabatan, maka begitulah mereka,”jelas Reina.


 


            Persidangan kemarin masih menyisakan kekecewaan bagiku, perasaanku menjadi sedikit kacau. Bukankah aku memang sudah sadar dari dulu bahwa hukum di Negeri ini memang berpihak pada orang kaya, tapi kenapa sekarang aku merasa tidak bisa menerima kenyataan itu??? Apa karena sekarang ini aku terlibat didalamnya??
            Apa benar ini masalah Sistem??
            Kalo benar maka betapa bobroknya Negeri ini.

Di Kampus ...........
            “Rei....” ucapku memanggil Reina yang baru saja keluar dari kelasnya.
            “Eh, kamu Zam. Ngapain kamu disini? Gak nungguin aku keluar kelas kan?” ucap Reina setelah menghampiriku.
            “Emang nungguin kamu dari tadi. Kenapa? Gak boleh? Udah 15 menit loh aku nunggu,”.
            “Hahaha, tumben seorang Azzam gini. Kenapa? Masalah kemarin masih buat kamu galau?”.
            “Ya bukan galau, tapi.....”.
            “Eh kita bicara di kantin aja yuk,” lanutku.
            “Di kantin? Baik banget si pake nlaktir segala,” ucap Reina meledekku.
            “Ya, ya, ya gampang,” ucapku sambil tersenyum melihat tingkahnya.

Di Kantin....
            “Makasih bu,” ucap Reina pada ibu kantin yang baru saja mengantarkan 2 mangkok soto dan 2 gelas es jeruk.
            “Jadi apa yang buat kamu galau?” lanjutnya.
            “Rei, aku gak galau,” tegasku.
            “Ya oke, Azzam gak lagi galau. Jadi apa yang membuatmu nunggu 15 menit di depan kelas sampai rela nlaktir aku, Zam? Ada hal yang luar biasa?” tuturnya dengan sedikit menahan tawa.
            “Aku cuma kepikiran omonganmu kemarin, kamu bilang ini masalah Sistem. Jadi maksudmu ketidakadilan tercipta karena sistem? Kalo iya Negara kita sangat kacau” ucapku dengan serius.
            “Hmhm, Azzam yang aku kenal sangat apatis tiba-tiba bicara Negara?” ucapnya sedikit heran.
            “Upss, sorry. Oke, gini Zam. Kita tahu kasus ketidakadilan hukum, korupsi dan lain-lain di Indonesia itu selalu ada dan sangat sulit untuk diberantas. Kenapa? Karena ini sudah menjadi sistem yang telah terbentuk di masing-masing lembaga. Orang yang masuk ke dalamnya dan menentang sistem yang ada maka kemungkinan besar dia akan terdepak dari lembaga tersebut. Disini benar salah sudah tampak abu-abu Zam, tak ada bedanya. Mereka tinggal memilih mempertahankan idealisme dengan konsekuensi terdepak dari lembaga yang ia naungi, perjalanan karirnya akan tersendat bahkan mungki harus menanggung konsekuensi terror dan pembunuhan atau meninggalkan idealisme dan mengikuti sistem yang berlaku,” papar Reina.
            “Kamu ingat Munir? Tokoh sosial yang gugur terbunuh melalui racun yang dicampurkan di minumannya ketika ia naik pesawat? Itu adalah contoh orang yang berjuang melawan sistem. Jadi bukan hal yang mudah kan mempertahankan idealisme?” tambahnya dengan tampang bahagia seperti baru saja mengalahkanku.
            “Entahlah,” ucapku dengan penuh gengsi.
            “Sulit sekali bagimu untuk mengaku kalah,” tuturnya sedikit kesal dan aku hanya bisa menahan tawa karena tingkahnya.
            “Itulah sebabnya aku aktif sana sini Zam, aku ingin sekali bisa merubah sistem itu. Tapi untuk merubah sistem kita harus menjadi orang yang berkuasa dulu, karena sebuah pemikiran baru bisa menjadi Sistem bila didukung oleh Politik atau yang artinya didukung oleh kekuasaan,” tambahnya.
            Kata-katanya barusan sungguh membuatku berpikir keras tentang diriku selama ini. Apakah salah aku bersikap apatis?? Aku hanya benci dan tak mau menjadi bagian dari orang-orang yang munafik yang berubah setelah memiliki jabatan. Bagiku itu akan lebih menyakitkan bila ada orang yang dulu sangat baik tapi kemudian berubah menjadi sangat jahat, itu lebih mengecewakan. Bukankah lebih baik menjadi orang yang biasa, tapi dari awal hingga akhir tetap sama. Tidak jadi pahlawan tapi juga tidak jadi benalu.
            “Jujur aku sedikit kecewa ketika aku dengar dari Dirga kamu bilang seharusnya panitia bisa menyelenggarakan seminar secara gratis karena bukannya mengeluarkan uang untuk membayar pembicara tapi panitia mendapat uang kampanye pembicara. Kenapa kamu tega bilang gitu?” tanyanya dengan raut kecewa.
            “Kamu tahu tujuanku mengusahakan pembicara dari calon presiden adalah untuk memperkenalkan lebih dekat calon presiden pada mahasiswa. Aku ingin memaksimalkan suara mahasiswa Zam. Bukannya mencari keuntungan. Pada pemilihan presiden nanti mayoritas pemilih adalah masyarakat irrasional yang akan memilih berdasar kampanye yang dilakukan di desa-desa mereka, hanya ada sedikit pemilih yang rasional. Dan mahasiswa adalah sebagian dari pemilih rasional itu, aku ingin memaksimalkannya dengan memberikan gambaran tentang siapa dan bagaimana calon presiden kita agar mereka tak salah pilih. Dan aku juga berharap bisa mengurangi mahasiswa rasional yang apatis, karena suara mereka sangat menentukkan masa depan Negeri ini. Golput bukan suatu pilihan yang bijak Zam, itu pilihan orang yang pengecut,” paparnya sedikit mengejutkanku.
            “Kenapa kata-katamu seolah menuduhku pelaku golput?” tanyaku tak tahan dengan tatapan memojokkannya.
            “Adikmu, Reza sudah menceritakan semuanya saat aku ke rumahmu kemarin. Ternyata kamu benar-benar apatis ya, umurmu sekarang 20 tahun, tapi selama 3 tahun ini kamu selalu golput setiap ada pemilu?” ucapnya seraya berdemam mengejekku.
            ‘Reza...........’ teriakku dalam hati. Eh tapi kenapa aku harus menutupinya, bukannya aku selalu nyaman dengan pilihan golputku itu?? Belakangan ini aku sepertinya sudah terpengaruh banyak hal oleh Reina. Aku menjadi ingin melakukan sesuatu untuk Negeriku ini. Tapi aku tetap tak ingin jadi orang munafik. Entahlah....


 


            “Reza, ngapain kamu cerita ke mba Reina kalo mas selalu golput setiap ada pemilu? kamu nyeritain apa aja sama mba Reina?” tanyaku pada adikku yang tengah asyik menikmati sinema kartun sore di Global TV.
            “Apa si mas? Baru pulang dah ngomel-ngomel. Mandi sana, bau,” jawabnya dengan menutup hidung untuk mempertegas kalau aku memang bau.
            Seperti biasa ketika aku sedang tak tahan dengannya, maka aku menggendongnya dan menidurkannya di kursi dengan kedua tangan yang kujerat dengan tanganku sampai dia mau mengatakan apa yang mau akau dengar.
            “Mas..............” teriaknya.
            “Iya, iya. Kemarin itu mba Reina tanya mas orangnya gimana, ya aku jawab jujur mas itu orangnya pelit gak mau beliin jajan buat adeknya dan sekalinya beliin jajan waktu dapet uang dari ikutan acara kampanye padahal dia itu tukang golput mba, masa tukang golput ikut acara kampanye, jelas cuma cari uang kan. Aku cuma ngomong itu kok mas. Lepasin,” ucap Reza menjelaskan pembicaraan mereka dengan rinci.
            “Kamu itu....ngomong kaya gitu dibilang cuma? denger ya, mas itu bukan tukang golput, mas cuma gak pengen jadi bagian dari orang yang munafik itu,” ucapku.
            “Mas itu loh, mereka ya mereka, mas ya mas. Kenapa mesti di sama-samain,” ucap spontan Reza yang membuatku langsuung melepaskan jeratanku pada tangannya.
            Kata-katanya barusan mengena sekali, meski aku tahu dia tidak sadar atas apa yang dia ucapkan tadi. Tapi kata-katanya menyadarkanku bahwa aku dan orang-orang munafik itu berbeda. Kami berbeda, yaitu aku masih memiliki kesempatan untuk tidak menjadi munafik seperti mereka. Hidup itu pilihan, dan sekarang aku memilih untuk tetap menjadi idealis seperti apapun kondisiku nanti. Aku harap aku mampu melakukannya.
            Ya, sudah aku putuskan, mulai sekarang aku akan berhenti menjadi orang apatis, dan aku akan menjadi orang idealis, idealis untuk memperbaiki Negeri ini. Negeri Indonesia.
           

            “Maaf...”
            “Maaf atas ucapanku kemarin yang menganggap kamu hanya mencari keuntungan dari acara seminar yang kamu adakan itu,” lanjutku bicara pada Reina setelah menghampirinya yang tengah duduk asyik bersama semangkuk baksonya di kantin kampus.
            “Bolehkah aku mencabut kata-kataku itu?” tambahku setelah Reina menyadari keberadaanku disampingnya.
            “Azzam, kamu tuh ngagetin aku aja si,” ucapnya.
            “Eh tadi kamu ngomong maaf? Maaf apa ya? Aku gak denger, bisa diulangi lagi?” tuturnya mengerjaiku.
            “Hmmm, masih muda pendengarannya udah konslet. Maaf selain pertandingan sepak bola tidak ada siaran ulang,” tegasku turut mengerjainnya.
            Reina tersenyum simpul mendengar ucapanku, “Ya aku maafin, Allah aja memaafkan kesalaan-kesalahan hamba-Nya karena ketidaktahuan. Masa si aku nggak,” ucapnya menahan tawa.
            “Hmmm, ya aku akui aku memang tidak tahu tentang tujuanmu mengadakan seminar itu,” ucapku mengaku kalah. “Maafkan ketidaktahuanku yang telah menyakitimu itu ya,” lanjutku dengan serius.
            “Iya aku maafkan,” ucapnya sembari meletakkan telapak tangannya di bahuku sebagai simbol dia telah mengampuniku.
            “Ah kamu itu berasa aku punya dosa besar aja sama kamu,” ucapku seraya menurunkan tanganya dari bahuku.
            “Haha, iya memang. Dosamu banyak ke aku,” tuturnya yang kemudian kembali menyendok bakso yang ada di hadapannya.
            “Bu..bakso satu ya,” ucapku sedikit berteriak pada ibu kantin agar dapat didengar.
            “Kamu gak ada kuliah lagi?” tanyanya padaku.
            “Gak ada, tadi kuliah terakhirku buat hari ini,” jawabku singkat seraya mengambil handphone dari tas punggungku.
            “Kamu sendiri masih ada kuliah?” tambahku.
            “Hari ini aku udah gak ada kuliah kok, aku lagi ngurusin persiapan Semnas aja. Udah kurang 2 minggu lagi nih soalnya, lagi sibuk-sibuknya,” paparnya yang kali ini sibuk menyendok kuah segar bakso.
            Aku menggeser mangkok baksonya menjauh darinya, “Ih Azzam, kamu ngapain si? Lagi enak-enak makan tahu,” ucapnya kesal.
            “Kamu tuh, baksoku tuh belum dateng. Kalo kamu makan terus ntar aku gak punya temen makan,” jawabku dengan sangat egois.
            “Lalu maumu apa?” tanyanya seraya meletakkan sendok dan garpu yang dari tadi sibuk menyuapi bakso ke mulutnya.
            “Dengerin aku ngomong,”ucapku.
            Belum sempat aku bicara lebih panjang, Reina sudah bersiap meluncurkan kata-katanya. Maka terpaksa aku meletakkan jari telunjukku di depan bibirnya, “Kalo aku pengen gabung organisasimu, menurutmu gimana?” tanyaku setelah Reina benar-benar terdiam karena ulahku.
            “Kamu serius?” tanyanya.
            “Serius lah, meski awalnya aku masih ragu untuk terjun ke dunia politik seperti kalian. Tapi Reza telah menyadarkanku.,”.
            “Reza??”.
            “Ya, dia bilang mereka ya mereka, aku ya aku. Mungkin dulu aku terlalu takut menjadi orang idealis yang berjuang untuk negara tapi di waktu setelahnya aku beralih menjadi orang yang menghianati bangsa, aku terlalu takut bila aku menjadi kekecewaan bagi orang lain. Tapi aku sekarang sadar, aku masih punya pilihan untuk tidak menjadi apa yang aku takutkan. Meski mempertahankan idealis itu memang sulit, tapi aku akan berusaha Rei,” paparku.
            “Kamu pasti bisa Zam, aku yakin. Kamu hanya perlu mendengar suara hatimu, jaga kesuciannya. Bila hatimu merasa suatu tindakan itu salah, maka jangan lakukan. Jangan sampai kamu melanggarnya sekalipun. Setiap kali kamu mengacuhkan suara hatimu, maka hatimu akan selangkah demi selangkah menuju mati. Dan bila suara hatimu telah mati, maka tidak ada yang bisa menghalangimu untuk menjadi apa yang kamu takutkan,” ucapnya dengan sangat bijak. Dia mengucapkannya sambil memegang dadaku sebagai pemberitahuan bahwa distulah letak suara hatiku.
            “Kalau begitu, mulai sekarang aku terima kamu menjadi anggota Organisasi Pemuda untuk Negeri,” lanjutnya mantap seraya meletakkan kembali telapak tangannya di bahuku.
            “Hei, apakah harus selalu seperti ini?” ucapku seraya menggeser tangannya dari bahuku.
            “Hahhaaha....” dia tertawa dengan sangat lepas, sedang aku hanya mampu tersenyum simpul melihatnya.
Yang pasti sekarang aku paham untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik, Indonesia membutuhkan orang untuk mengawali perubahan, sedangkan kebencian tak akan pernah menyelesaikan masalah. Ya meski untuk melakukan perubahan seringkali kali kita gagal dan harus mengulang dari awal. Tapi itulah perjuangan. Aku hanya perlu mempelajari bagaimana mereka, pemuda-pemuda sebelum kami membuat gebrakan-gebrakan berani untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik, dan yang pasti aku juga harus mempelajari bagaimana mereka bisa tersesat hingga melepas idealisme mereka hingga justru menjadi benalu bagi Negeri yang dulu ia perjuangkan.
Aku, Azzam dan seluruh pemuda-pemudi Indonesia. Ingat kita adalah generasi muda, kita adalah satu-satunya harapan bagi Negeri ini karena pemuda selalu dikenal dengan Idealismenya. Kita harus bersama menjadi agent of change untuk Indonesia yang Baru karena......
Apa jadinya Indonesia dengan Generasi Muda Apatis????

SELESAI